CARAPANDANG – Ketika banyak perusahaan Amerika Serikat (AS) berlomba-lomba mengintegrasikan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) ke dalam pekerjaan sehari-hari, mereka mulai menyadari adanya biaya tersembunyi, yakni kebocoran data yang lebih besar dan lebih mahal.
Laporan bertajuk "Cost of a Data Breach 2025", yang dipublikasikan oleh IBM pada Rabu (30/7) mengungkapkan bahwa 13 persen dari 600 organisasi yang diteliti mengalami kebocoran data yang melibatkan model atau aplikasi AI mereka sendiri. Yang mengkhawatirkan, kontrol akses dasar hilang dalam 97 persen kasus-kasus tersebut.
Laporan tersebut juga menemukan bahwa para penyerang menggunakan teknologi ini untuk melawan penciptanya, dengan satu dari enam kebocoran data melibatkan penjahat yang memanfaatkan perangkat AI, terutama untuk membuat surel penipuan (phishing) yang meyakinkan dan pemalsuan dalam (deepfake).
Apa yang disebut "AI bayangan" (shadow AI), sistem yang digunakan oleh karyawan tanpa izin resmi, terbukti bahkan lebih mahal. Sebanyak 20 persen responden menyalahkan kebocoran data mereka pada AI yang tidak sah, yang menambah rata-rata kerugian sekitar 670.000 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.378). Ketika "AI bayangan" hadir, total biaya kebocoran meningkat menjadi 4,74 juta dolar, dibandingkan dengan 4,07 juta dolar ketika tidak ada.